Kota merupakan pusat kreativitas budaya
yang juga menjadi perjuangan keras manusia. Kota merefleksikan vitalitas,
kemajuan sosial, dan ekonomi. Semakin berkembangnya suatu kota, komunitas
perkotaan juga tumbuh menjadi lebih besar dan padat. Masalah yang timbul juga
semakin banyak, termasuk persoalan lingkungan.
Buku Inoguchi dan kawan-kawan 2003 tentang
Kota dan Lingkungan menjelaskan bahwa masyarakat di perkotaan harus berwawasan
ekologi. Selain hidup berdampingan dengan manusia, mereka juga harus memprioritaskan
lingkungan kota.
“Mereka harus mampu berpikir, ada kebutuhan
mendesak untuk mengurangi beban lingkungan, seperti polusi udara dan air,
memperkecil dan mengatur sampah rumah tangga dan industri, juga merawat
tempat-tempat rekreasi yang alamiah menyenangkan,” terang Inoguchi.
Buku lain yang berjudul Perancangan Kota
Secara Terpadu, Teori Perancangan Kota dan Penerapannya oleh Zahnd tahun 2006
menjelaskan bahwa di perkotaan terdapat ruang terbuka atau open space yang
sering dinilai hanya secara visual. Ruang terbuka seperti alun-alun sering
tidak diperhatikan dengan baik karena dianggap ada secara alamiah, tanpa adanya
kesadaran bahwa kebutuhan ruang terbuka itu sangat berarti.
Beruntung, Indonesia memiliki peraturan
tentang ruang terbuka khususnya ruang terbuka hijau (rth). Diantaranya
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman
Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan dan
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Dalam beberapa pasal di undang-undang
ditulis proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga
puluh) persen dari luas wilayahnya. Sementara, luasan ruang terbuka hijau
publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas
wilayahnya.
Jakarta, misalnya. Berdasarkan situs
https://data.go.id/dataset/ruang-terbuka-hijau-dki-Jakarta, terdapat 3.043
ruang terbuka hijau yang berada di Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta
Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Utara, dan Kepulauan Seribu. Bentuknya berupa
jalur hijau jalan, rth pemakaman, taman bangunan umum, taman interaktif, taman
kota, taman lingkungan, taman rekreasi, dan tepian air.
Bila dilihat fungsi utama (intrinsik) yaitu
fungsi ekologis, ruang terbuka hijau menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara
(paru-paru kota); pengatur iklim mikro; peneduh; produsen oksigen; penyerap air
hujan; penahan angin; serta penyedia habitat satwa.
Ruang terbuka hijau
untuk Avifauna
Ruang terbuka hijau sejatinya tidak saja
dibutuhkan manusia, tetapi juga satwa liar seperti burung atau avifauna. Di
alam, burung berperan penting sebagai pemencar alami biji sekaligus
menggambarkan kualitas lingkungan suatu tempat.
Ani Mardiastuti, Kepala Bagian Ekologi dan
Manajemen Satwa Liar, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Institut Pertanian Bogor, bersama beberapa peneliti di tahun 2014 telah
menerbitkan panduan praktis menentukan kualitas ruang terbuka hijau. Burung dijadikan
sebagai indikatornya.
Di dalam buku itu, jenis burung yang teridentifikasi
di suatu rth akan dikelompokkan berdasarkan karakternya seperti pakan, jenis
penetap atau migran, teknik reproduksi, lokasi peletakan sarang, waktu aktif
burung mencari makan, serta jenis habitat yang dihuni. Nantinya, ada
nilai-nilai berdasarkan karakter burung yang hasilnya dapat menentukan kategori
kualitas ruang terbuka hijau.
“Berdasarkan pengetahuan empiris, burung
mudah ‘bereaksi’ terhadap habitatnya, sehingga burung dapat digunakan sebagai
‘ukuran’ baik tidaknya suatu habitat, termasuk habitat ruang terbuka hijau.
Dengan kata lain, burung dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan
kualitas ruang terbuka hijau di perkotaan,” terang Ani.
Di ruang terbuka Monas, Jakarta misalnya.
Berdasarkan pantauan Mongabay (11/6/2018) ragam jenis burung relative mudah
dipantau. Bahkan, sarang jenis takur ungkut-ungkut (Megalaima haemacephala)
hanya diketinggian kurang lebih 5 meter.
Selama beberapa jam pengamatan,
teridentifikasi 19 jenis burung di wilayah ini. Ada betet biasa (Psittacula
alexandri), burung-gereja eurasia (Passer montanus), burung-madu sriganti
(Cinnyris jugularis), caladi ulam (Dendrocopos macei), cekakak sungai (Halcyon
chloris), cinenen jawa (Orthotomus sepium), kepudang-kuduk hitam (Oriolus
chinensis), tekukur biasa (Streptopelia chinensis), walet linchi (Collacalia
linchi), dan sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus).
Sementara di Bogor, ada pula ruang terbuka
hijau yang dibangun lebih lama dari Monas. Adalah Kebun Raya Bogor, kebun raya
ke-13 tertua di dunia yang didirikan pada 18 Mei 1817 oleh Prof. Dr. C.G.C.
Reinwardtt, ahli botani dari Jerman yang pada waktu itu bernama sland
Plantentum de Butenzorg. Awalnya, sebagai pusat introduksi berbagai tanaman
ekonomi penting pertanian.
Kebun raya ini merupakan tempat hidup
berbagai jenis satwa selain tumbuhan tentunya. Berdasarkan Perda No. 11 tahun
1978, semua jenis satwa liar yang ada di Kebun Raya Bogor, seperti kalong,
musang, burung, kupu-kupu dan serangga lainnya, secara hukum dilindungi.
Perlindungan satwa liar penting untuk kelestarian dan keserasian lingkungan.
Awal penelitian yang dilakukan
Koningsberger 1901 hanya ditemukan 6 jenis burung. Penelitian Hoogerwerf pada
1948, 1949 dan 1953 menunjukkan ada 143 jenis burung di sini. Namun, seiring
perkembangan Kebun Raya Bogor, seperti dibukanya untuk umum, pembersihan secara
intensif, dan berbagai faktor lain, diketahui jumlah jenis burungnya menurun.
Bas van Balen (tahun 1980-1981; tahun 1984)
hanya menemukan 56 jenis burung. Selanjutnya beberapa penelitian lain di 2001
menemukan 46 jenis burung, pada 2004 (56 jenis), 2013 (48 jenis), 2016 (18
jenis), dan 2018 terpantau 25 jenis.
Upaya konservasi
Demi menjaga keberadaan ruang terbuka hijau
dan memberikan fungsi intrinsik, di Semarang, Pencinta Alam Haliaster dan
kampus Universitas Diponegoro (Undip) melakukan kegiatan bernama “Common Bird
Project” yang dimulai 2018. Karyadi Baskoro, dosen biologi Universitas
Diponegoro, mengatakan kegiatan ini merupakan pengembangan dari Atlas
Keanekaragaman Burung Semarang Raya. Dari atlas tersebut, dipersempit menjadi
burung umum yang akan diteliti lebih dalam ekologinya.
“Kami meneliti cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), burung-madu
sriganti (Cinnyris jugularis),
tekukur biasa (Streptopelia chinensis),
burung-gereja eurasia (Passer montanus),
bondol spp, walet linchi (Collacalia
linchi), dan jenis cinenen pisang (Orthotomus
sutorius),” terangnya.
Mengapa jenis umum, bukan yang langka?
Baskoro mengatakan, skala prioritas penting diutamakan dalam situasi
terbatasnya sumber daya. Meninggalkan (kajian) jenis umum akan membuka peluang
terulangnya kasus kehilangan jenis, sementara pengetahuan ekologinya minim. Hal
ini terjadi pada jenis-jenis yang sekarang langka. “Dulu ketika melimpah,
dianggap umum, kurang diperhatikan. Setelah populasinya menyusut, kita
kebingungan karena belum pernah ada kajian mendalam,” jelasnya.
Menurut Karyadi, kegiatan ini akan dimulai
dari ruang terbuka hijau kampus Undip yang berperan besar sebagai tempat
berlindung sekaligus sumber pakan burung. “Dimulai dari mahasiswa sebagai bahan
studi ekologi hewan atau burung yang jangka panjangnya akan dikembangkan
database pemantauan burung perkotaan,” tandasnya.
(Fransisca
N Tirtaningtyas)
Literatur:
Inoguchi,
T., Newman, E., Paoletto, G. 2003. Kota dan Lingkungan, pendekatan baru
terhadap masyarakat berwawasan ekologi. LP3ES, Jakarta.
Mardiastuti,
A., Mulyani, Y. A., Rinaldi, D., Rumblat, W., Dewi L.K., Kaban, A.,
Sastranegara, H. 2014. Panduan Praktis Menentukan Kualitas Ruang Terbuka Hijau
dengan Menggunakan Burung sebagai Indikator. Institut Pertanian Bogor.
Zahnd,
M. 2006. Perancangan kota secara terpadu, teori perancangan kota dan
penerapannya. Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Sumber artikel: https://www.mongabay.co.id/2018/07/01/ruang-terbuka-hijau-penting-untuk-manusia-dan-kehidupan-burung/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar