Minggu, 10 Desember 2017

MENGAPA BURUNG PENTING?

Burung merupakan satwa bersayap yang banyak memberi nilai positif bagi alam. Fungsinya juga beragam, mulai dari menebar biji, membantu penyerbukan, hingga sebagai indikator alami kesehatan lingkungan.
Di alam, rangkong merupakan burung yang berperan dalam penyebaran biji. Adanya rangkong di hutan menunjukkan hutan tersebut masih bagus karena jenis ini hanya dapat hidup di pohon-pohon besar. Sebagai burung pemakan buah, rangkong turut melakukan kegiatan penyebaran biji. Tanpa campur tangan rangkong, jenis pohon tertentu mustahil akan tetap tumbuh karena induk pohon yang menua mati tanpa penerus.
Para ahli berpendapat bahwa radius terbang seekor rangkong dapat mencapai 100 km persegi. Artinya adalah burung ini dapat menebar biji hingga sejauh 100 km persegi. Bila dibanding burung lainnya, rangkong dianggap paling mumpuni menebarkan biji seperti buah ara, pakan kesukaannya, karena daya jelajahnya yang tinggi. Margaret F. Kinnaird dan Timothy G. O’Brien dalam “The Ecology and Conservation of Asian Hornbills: Farmers of the Forest” menjuluki rangkong sebagai petani hutan karena kehebatannya menebar biji. Menurut mereka, terdapat hubungan erat antara rangkong dengan hutan yang sehat.

Rangkong sendiri termasuk dalam suku Bucerotidae, kelompok burung berukuran besar yang mudah dikenali dari cula (casque) pada pangkal paruhnya. Untuk urusan rangkong, Indonesia memang surganya karena ada sekitar 13 jenis yang tersebar di nusantara ini. Sembilan jenis di Sumatera yaitu enggang klihingan, enggang jambul, julang jambul-hitam, julang emas, kangkareng hitam, kangkareng perut-putih, rangkong badak, rangkong gading, dan rangkong papan. Empat jenis berada di Sumba (julang sumba), Sulawesi (julang dan kangkareng sulawesi), serta Papua (julang papua). Sementara Kalimantan memiliki jenis rangkong yang sama seperti Sumatera, kecuali rangkong papan. Begitu juga dengan fungsi indikator alami kebersihan lingkungan yang diperankan oleh raja udang. Jenis ini sangat menyukai aliran sungai yang masih jernih. Bila sungai telah tercemar, jangan harap ia akan datang karena pakannya berupa ikan kecil dipastikan sudah tidak ada lagi.
Prof. Dr. Ani Mardiastuti, Guru Besar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor (IPB), menuturkan bahwa burung juga dapat digunakan sebagai penanda alami apakah kawasan pertanian telah tercemar atau tidak. Menurut ahli burung liar Indonesia ini, caranya adalah dengan mengambil sampel lemak seekor burung yang ada di daerah tersebut. Bila terdapat kandungan pestisida atau zat kimia di sampel itu dipastikan daerah tersebut telah tercemar. Alasannya jelas, karena si burung memakan ikan atau juga invertebrata yang ada di daerah pertanian itu.
Cara kedua adalah dengan melihat ketebalan cangkang. Berbagai zat berbahaya yang masuk ke tubuh burung akan membuatnya mengendap dalam lemak. Untuk itu diperlukan kalsium sebagai penetral zat berbahaya. Tersedotnya kalsium ini akan berdampak pada tidak proporsionalnya kalsium pada cangkang telur. Akibatnya, cangkang telur yang dihasilkan begitu tipis dan akan pecah kala dieram.
Hal unik lain burung adalah dapat menentukan daerah prioritas pelestarian alam. Mengapa? Karena, burung hidup di hampir semua habitat di bumi. Mulai dari daerah kutub, padang pasir, hingga pegunungan. Burung juga peka terhadap lingkungan dan taksonomi persebarannya cukup lengkap yang secara ilmiah telah banyak dipelajari. Sehingga, dapat dijadikan sebagai indikator ideal bagi pencarian lokasi penting. Data yang lengkap ini pula pastinya akan memudahkan kita untuk melakukan analisis yang mendalam.
Jangan lupa, unggas yang kita ternakkan, termasuk ayam, angsa, bebek, kalkun, dan puyuh, sesungguhnya berasal dari kelompok burung (Aves) yang telah didomestikasi sejak ratusan tahun. Ayam, di antara sekitar 10.000 jenis burung yang hidup di dunia, merupakan jenis yang paling banyak jumlahnya. Ayam berhasil memenuhi bumi karena sukses didomestikasi dan diternakkan di seluruh dunia.
Harus diingat pula, Garuda, lambang negara kita merupakan replikasi dari elang jawa (Nisaetus bartelsi). Burung dengan ciri khas jambul ‘jigrak’ ini hanya ada di Pulau Jawa dengan ukuran tubuh sekitar 60 cm. Perannya cukup vital sebagai pemangsa puncak (top predator) dalam siklus rantai makanan. Keberadaannya pun dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta diperkuat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1993 Tentang Satwa dan Bunga Nasional. Namun, kondisinya yang kian langka membuat IUCN menetapkan statusnya Genting (Endangered/EN).
Indonesia, sudah sepatutnya menjaga keragaman jenis burung yang ada. ”Jangan sampai, punah sebelum kita mengenalnya” ucap Prof. Ani.*
Tulisan ini terbit di Harian Umum Pikiran Rakyat, 24 April 2014 (Halaman 22)
Tautan: http://epaper.pikiran-rakyat.com/indeks

Tidak ada komentar:

Posting Komentar