Burung merupakan satwa bersayap yang banyak
memberi nilai positif bagi alam. Fungsinya juga beragam, mulai dari menebar
biji, membantu penyerbukan, hingga sebagai indikator alami kesehatan
lingkungan.
Di alam, rangkong merupakan burung yang
berperan dalam penyebaran biji. Adanya rangkong di hutan menunjukkan hutan
tersebut masih bagus karena jenis ini hanya dapat hidup di pohon-pohon besar.
Sebagai burung pemakan buah, rangkong turut melakukan kegiatan penyebaran biji.
Tanpa campur tangan rangkong, jenis pohon tertentu mustahil akan tetap tumbuh
karena induk pohon yang menua mati tanpa penerus.
Para ahli berpendapat bahwa radius terbang
seekor rangkong dapat mencapai 100 km persegi. Artinya adalah burung ini dapat
menebar biji hingga sejauh 100 km persegi. Bila dibanding burung lainnya,
rangkong dianggap paling mumpuni menebarkan biji seperti buah ara, pakan
kesukaannya, karena daya jelajahnya yang tinggi. Margaret F. Kinnaird dan
Timothy G. O’Brien dalam “The Ecology and Conservation of Asian Hornbills: Farmers
of the Forest” menjuluki rangkong sebagai petani hutan karena kehebatannya
menebar biji. Menurut mereka, terdapat hubungan erat antara rangkong dengan
hutan yang sehat.
Rangkong sendiri termasuk dalam suku
Bucerotidae, kelompok burung berukuran besar yang mudah dikenali dari cula
(casque) pada pangkal paruhnya. Untuk urusan rangkong, Indonesia memang
surganya karena ada sekitar 13 jenis yang tersebar di nusantara ini. Sembilan
jenis di Sumatera yaitu enggang klihingan, enggang jambul, julang jambul-hitam,
julang emas, kangkareng hitam, kangkareng perut-putih, rangkong badak, rangkong
gading, dan rangkong papan. Empat jenis berada di Sumba (julang sumba),
Sulawesi (julang dan kangkareng sulawesi), serta Papua (julang papua).
Sementara Kalimantan memiliki jenis rangkong yang sama seperti Sumatera,
kecuali rangkong papan. Begitu juga dengan fungsi indikator alami kebersihan
lingkungan yang diperankan oleh raja udang. Jenis ini sangat menyukai aliran
sungai yang masih jernih. Bila sungai telah tercemar, jangan harap ia akan
datang karena pakannya berupa ikan kecil dipastikan sudah tidak ada lagi.
Prof. Dr. Ani Mardiastuti, Guru Besar
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor
(IPB), menuturkan bahwa burung juga dapat digunakan sebagai penanda alami
apakah kawasan pertanian telah tercemar atau tidak. Menurut ahli burung liar
Indonesia ini, caranya adalah dengan mengambil sampel lemak seekor burung yang
ada di daerah tersebut. Bila terdapat kandungan pestisida atau zat kimia di sampel
itu dipastikan daerah tersebut telah tercemar. Alasannya jelas, karena si
burung memakan ikan atau juga invertebrata yang ada di daerah pertanian itu.
Cara kedua adalah dengan melihat ketebalan
cangkang. Berbagai zat berbahaya yang masuk ke tubuh burung akan membuatnya
mengendap dalam lemak. Untuk itu diperlukan kalsium sebagai penetral zat
berbahaya. Tersedotnya kalsium ini akan berdampak pada tidak proporsionalnya
kalsium pada cangkang telur. Akibatnya, cangkang telur yang dihasilkan begitu
tipis dan akan pecah kala dieram.
Hal unik lain burung adalah dapat
menentukan daerah prioritas pelestarian alam. Mengapa? Karena, burung hidup di
hampir semua habitat di bumi. Mulai dari daerah kutub, padang pasir, hingga
pegunungan. Burung juga peka terhadap lingkungan dan taksonomi persebarannya
cukup lengkap yang secara ilmiah telah banyak dipelajari. Sehingga, dapat
dijadikan sebagai indikator ideal bagi pencarian lokasi penting. Data yang
lengkap ini pula pastinya akan memudahkan kita untuk melakukan analisis yang
mendalam.
Jangan lupa, unggas yang kita ternakkan,
termasuk ayam, angsa, bebek, kalkun, dan puyuh, sesungguhnya berasal dari
kelompok burung (Aves) yang telah didomestikasi sejak ratusan tahun. Ayam, di
antara sekitar 10.000 jenis burung yang hidup di dunia, merupakan jenis yang
paling banyak jumlahnya. Ayam berhasil memenuhi bumi karena sukses
didomestikasi dan diternakkan di seluruh dunia.
Harus diingat pula, Garuda, lambang negara
kita merupakan replikasi dari elang jawa (Nisaetus bartelsi). Burung dengan
ciri khas jambul ‘jigrak’ ini hanya ada di Pulau Jawa dengan ukuran tubuh
sekitar 60 cm. Perannya cukup vital sebagai pemangsa puncak (top predator)
dalam siklus rantai makanan. Keberadaannya pun dilindungi Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta
diperkuat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1993 Tentang
Satwa dan Bunga Nasional. Namun, kondisinya yang kian langka membuat IUCN
menetapkan statusnya Genting (Endangered/EN).
Indonesia, sudah sepatutnya menjaga
keragaman jenis burung yang ada. ”Jangan sampai, punah sebelum kita
mengenalnya” ucap Prof. Ani.*
Tulisan
ini terbit di Harian Umum Pikiran Rakyat, 24 April 2014 (Halaman 22)
Tautan:
http://epaper.pikiran-rakyat.com/indeks
Tidak ada komentar:
Posting Komentar